Singkil, DN-II Penegakan hukum kembali tercoreng di Aceh Singkil. Kasus dugaan penyerobotan hak atas tanah yang melibatkan PT Delima Makmur kembali menjadi sorotan publik. Sudah tujuh tahun berlalu sejak Direktur perusahaan, Alfred Lauren Purba, ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2018, namun hingga kini, nasib hukum perkara ini terkesan menggantung dan diselimuti tanda tanya besar. (23/11/2024).
Kondisi ini memicu kritik tajam dan mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan korporasi yang merugikan masyarakat dan negara.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Aceh telah menetapkan Alfred Lauren Purba sebagai tersangka dalam kasus penyerobotan tanah di Desa Biskang, Situbuh-tubuh, Situban Makmur, dan Danau Paris, Kabupaten Aceh Singkil. Penetapan status tersangka ini terkonfirmasi melalui Surat Nomor B/115/X/Res.1.2./2018/Subdit II Resum pada Oktober 2018, dengan sangkaan Pasal 385 KUHP tentang penyerobotan hak.
Yang paling mengusik rasa keadilan masyarakat adalah dugaan bahwa meskipun berstatus tersangka, yang bersangkutan tidak dilakukan penahanan pada masa itu, dan yang lebih fatal, berkas perkara ini dibiarkan mengendap dan mangkrak di tingkat penyidikan selama bertahun-tahun.
Pertanyaan mendasar yang wajib dijawab oleh Polda Aceh dan Kejaksaan Tinggi Aceh adalah: “Mengapa berkas perkara seorang tersangka dengan sangkaan pidana serius di bidang agraria dibiarkan mengendap tanpa kepastian hukum selama tujuh tahun? Apakah ada intervensi atau kelalaian struktural yang disengaja dalam proses penyidikan dan penuntutan kasus ini?”
Ketidakjelasan ini mendorong masyarakat Aceh Singkil menuntut kejelasan atas proses hukum yang disinyalir tidak profesional dan berlarut-larut. Kasus yang dilaporkan oleh Safaruddin Tanjung Bin Khairuddin Tanjung pada 12 April 2018 ini kini menjadi simbol kegagalan institusi dalam menjamin kepastian hukum.
Kritik tajam dan pedas diarahkan langsung kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri. Propam diminta untuk segera turun tangan melakukan audit dan pemeriksaan internal terkait dugaan maladministrasi dan ketidakprofesionalan penyidik di Polda Aceh yang bertanggung jawab menangani kasus ini sejak 2018.
“Membiarkan berkas perkara pidana korporasi mangkrak selama tujuh tahun adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip keadilan dan melemahkan wibawa Polri. Kami menuntut Propam Mabes Polri untuk mengusut tuntas, apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh oknum penyidik,” tegas salah satu perwakilan masyarakat.
Laporan ini menuntut agar Propam Mabes Polri tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah sikap untuk memastikan kasus ini segera dilimpahkan ke Kejaksaan, demi membuktikan komitmen Polri terhadap transparansi dan penegakan hukum yang berkeadilan, tanpa pandang bulu terhadap korporasi besar.
“Mudah-mudahan dengan perhatian dari pusat, tabir segera terbuka. Masyarakat menuntut agar keadilan ditegakkan, dan siapapun yang terlibat dalam melambatkan proses hukum ini harus ditindak tegas,” tutup Safaruddin Tanjung.
Publisher -Red (PRIMA)
Eksplorasi konten lain dari
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
