Jabar, DN-II Komunitas Madani Purwakarta (KMP) menyoroti kunjungan mendadak Gubernur Jawa Barat ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwakarta pada Jumat pagi (8/11/2025) sekitar pukul 08.00 WIB. Dalam kunjungan tersebut, Gubernur hadir bersama Bupati Purwakarta dan mantan Sekda Purwakarta, Norman Nugraha.
Dalam video yang beredar, Gubernur — yang juga menjabat sebagai Bupati Purwakarta pada periode saat penundaan Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) terjadi — menyatakan bahwa penundaan DBHP dilakukan karena pembangunan Purwakarta meningkat.
KMP menilai pernyataan ini justru mengonfirmasi dugaan bahwa DBHP 2016–2018 dialihkan untuk pembiayaan infrastruktur, dan bukan disalurkan sebagaimana mestinya kepada pemerintah desa.
Alasan “Pembangunan Meningkat” Tidak Sah Sebagai Dasar Penundaan DBHP
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) merupakan kewajiban transfer (mandatory transfer) yang harus disalurkan dalam tahun anggaran berjalan, sesuai dengan:
Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Pasal 136 dan Pasal 162 Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, dan
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan prinsip annuality (tahunan anggaran).
KMP menegaskan bahwa penundaan DBHP hanya sah apabila terjadi “Kondisi Luar Biasa” (force majeure), seperti bencana alam besar, krisis fiskal nasional, atau keadaan darurat daerah yang mengharuskan pengalihan anggaran sementara.
Dalam kondisi demikian, terdapat dua konsekuensi akuntansi dan hukum yang wajib terpenuhi:
1. Penundaan tersebut harus tersaji dalam laporan keuangan daerah sebagai SILPA DBHP (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran DBHP); dan
2. Harus disahkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Perubahan APBD sebagai dasar legalitas hukum penundaan dan rencana penyaluran kembali pada tahun berikutnya.
Tanpa adanya “Kondisi Luar Biasa” dan tanpa ditetapkannya PERDA Perubahan APBD yang sah, maka penundaan DBHP adalah tindakan melawan hukum administratif dan berpotensi pidana.
> “Alasan pembangunan meningkat bukanlah dasar hukum penundaan. Jika DBHP ditunda tanpa kondisi luar biasa dan tanpa dituangkan dalam SILPA DBHP yang sah, maka itu bukan kebijakan, melainkan pelanggaran hukum,” tegas Sekretaris Komunitas Madani Purwakarta (KMP), Agus M Yasin, SH.
Pernyataan Gubernur Menguatkan Dugaan Pengalihan Arah Dana DBHP
Pernyataan Gubernur bahwa penundaan DBHP dilakukan karena pembangunan meningkat memperkuat dugaan bahwa DBHP dialihkan ke proyek infrastruktur, bukan ditransfer kepada pemerintah desa sebagaimana amanat undang-undang.
Tindakan pengalihan belanja transfer ini berpotensi melanggar:
Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, tentang penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan daerah;
Pasal 162 ayat (1) Permendagri 77/2020, tentang larangan pergeseran belanja antar urusan tanpa otorisasi DPRD; dan
Asas “no expenditure without appropriation”, yang menegaskan tidak boleh ada pengeluaran tanpa dasar hukum anggaran yang sah.
> “KMP menilai pernyataan Gubernur merupakan bentuk pengakuan terbuka bahwa DBHP telah dialihkan untuk kepentingan lain. Ini memperjelas arah penyelidikan hukum yang tengah dilakukan Kejari Purwakarta,” ujar Zaenal.
Kunjungan ke Kejari Tidak Menghapus Pertanggungjawaban Hukum
KMP menghormati langkah Gubernur dan Bupati Purwakarta yang mendatangi Kejari Purwakarta untuk meminta telaahan hukum, namun langkah itu tidak menghapus tanggung jawab hukum atas kebijakan masa lalu.
KMP menilai langkah tersebut justru menunjukkan adanya upaya pembentukan narasi politik hukum, bukan klarifikasi substantif atas dugaan penyimpangan keuangan daerah.
> “Kunjungan ke Kejari bukan forum klarifikasi, melainkan pernyataan politik hukum. Namun hukum keuangan daerah tidak bisa dinegosiasikan. Bila tidak ada Perda Perubahan APBD dan SILPA DBHP, maka penundaan itu tetap melanggar hukum,” tegas KMP dalam pernyataan resminya.
KMP Mendesak Penegakkan Hukum Secara Objektif
KMP sepakat dengan Gubernur untuk lakukan telaahan hukum atas kasus DBHP 2016–2018 secara objektif, transparan, dan bebas dari tekanan politik.
KMP mengingatkan bahwa bukti administratif telah memadai, antara lain:
Dokumen “Beban Transfer Bagi Hasil Pajak kepada Pemerintah Desa” pada Laporan Keuangan Pemkab Purwakarta;
Fakta adanya rencana pembayaran lintas tahun tanpa dasar sah dalam APBD Perubahan 2025;
Tidak ditemukannya PERDA Perubahan APBD 2016–2018 yang mengatur penundaan DBHP; dan
Tidak adanya pos SILPA DBHP dalam laporan keuangan tahun-tahun tersebut.
Kesimpulan Sikap Komunitas Madani Purwakarta (KMP)
1. Penundaan DBHP hanya sah bila terjadi Kondisi Luar Biasa yang disajikan dalam SILPA DBHP dan disahkan melalui PERDA Perubahan APBD.
2. Pernyataan Gubernur Jabar bahwa penundaan dilakukan karena pembangunan meningkat tidak memiliki dasar hukum, dan justru memperkuat dugaan bahwa DBHP telah dialihkan untuk proyek infrastruktur.
3. Penundaan DBHP tanpa dasar sah merupakan tindakan melawan hukum, berpotensi melanggar UU Tipikor dan ketentuan pengelolaan keuangan daerah.
4. KMP mendesak Aparat Penegak Hukim untuk memeriksa seluruh pihak yang terlibat dalam kebijakan penundaan dan pembayaran lintas tahun tersebut, termasuk pejabat yang menandatangani dan meloloskannya.
Tim
Eksplorasi konten lain dari
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
