TANGERANG, DN-II – Kejanggalan Krusial dalam Penerbitan SP3 kasus dugaan korupsi pengadaan lahan RSUD Tigaraksa yang memunculkan kontroversi publik dan tanda tanya besar terhadap proses penegakan hukum di Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tangerang.
Sekjen LBH BONGKAR (Gerbong Keadilan Rakyat) Irwansyah S.H., mengkritisi soal penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Kejari Kabupaten Tangerang untuk kasus yang telah ditingkatkan ke tahap penyidikan, terutama setelah adanya pengembalian uang sebesar Rp32,8 miliar ke Kas Daerah, adalah titik paling kritis yang menuai sorotan tajam.
Pengembalian Uang Tidak Menghapus Pidana:
Irwansyah,S.H., menjelaskan, dalam kasus tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta menghapuskan pidana bagi pelaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku.
“Adanya pengembalian dana tersebut justru dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan implisit atas potensi kerugian negara yang terjadi,” ungkap Irwansyah. Senin 10 November 2025.
Alasan SP3: Sengketa Administratif/Keperdataan:
Pihak Kejari Kabupaten Tangerang dilaporkan beralasan bahwa penghentian penyidikan karena peristiwa hukum yang terjadi lebih dominan pada sengketa administratif, keperdataan, atau tumpang tindih hak atas tanah (eks PT PWS vs Tjia Welly Setiadi), bukan tindak pidana korupsi. Argumen ini dipertanyakan publik karena kasus tersebut telah melewati tahapan penyelidikan dan naik ke penyidikan, yang seharusnya mengindikasikan ditemukannya minimal dua alat bukti permulaan yang cukup.
Siapa “Maling” yang Mengembalikan?
Identitas pihak yang mengembalikan uang Rp32,8 miliar (disebutkan inisial Tjia Welly Setiadi) menjadi kunci. Jika pengembalian tersebut dilakukan, seharusnya proses hukum tetap berjalan untuk membuktikan apakah pengembalian tersebut murni upaya koreksi keperdataan atau bagian dari upaya untuk menghilangkan unsur pidana setelah perbuatan merugikan negara terbongkar.
Status Sekda atau Bupati:
Kabupaten Tangerang (Moch Maesyal Rasyid, yang kini menjadi Bupati Tangerang) sejak awal proses pengadaan lahan, termasuk permohonan pendampingan hukum kepada Kejari dan Polres, menimbulkan pertanyaan tentang pertanggungjawaban manajerial dan politis dalam proses yang berujung pada dugaan korupsi.
Kronologi yang janggal menunjukkan proses pengadaan yang melibatkan banyak pihak dan tahun anggaran (2020-2022) dengan total anggaran Rp62.463.767.000. Tahun Anggaran 2020, Pemkab Tangerang mengeluarkan anggaran dengan nilai Rp7.998.945.000 untuk pembebasan lahan seluas 5.844 m². Selanjutnya mengajukan pendampingan hukum dari Sekda ke Kejari dan Polres.
Selanjutnya Tahun Anggaran 2021, Pemkab Tangerang mengeluarkan anggaran dari APBD sebesar Rp44.999.476.000 untuk pembebasan lahan seluas 36.784 m². Ditahun yang sama, Pemkab Tangerang mengeluarkan anggaran sebesar Rp8.315.898.000 untuk pembebasan lahan seluas 6.480 m².
Selanjutnya pada tahun 2022, Pemkab Tangerang kembali mengeluarkan APBD-P sebesar Rp1.149.448.000 untuk pembebasan lahan seluas 765 m² (disebutkan 755m2 di akhir) jika ditotal keseluruhan, Pemkab Tangerang mengeluarkan anggaran dari APBD sebesar Rp62.463.767.000 untuk pembebasan lahan seltas 49.873 m² (sekitar 4,9 hektare) |
Aspek yang paling disoroti adalah:
lanjut kata Irwansyah, permohonan pendampingan hukum kepada Kejaksaan dan Kepolisian oleh Sekda di awal proses tahun 2020 seringkali digunakan sebagai upaya mitigasi risiko hukum. Namun, hal ini tidak mencegah kasus tersebut naik ke penyidikan dan akhirnya di-SP3, yang menunjukkan adanya gap antara pendampingan dan implementasi di lapangan.
Pejabat seperti Iwan Firmansyah (Iwan KY) sebagai PPA dari Dinas Perkimtan yang bertanggung jawab atas eksekusi anggaran. Keterlibatan PPA dalam proses pengadaan lahan menjadikannya salah satu pihak yang bertanggung jawab atas legalitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
“Bahwa masalah utama terletak pada dugaan tumpang tindih hak atas tanah antara lahan milik Tjia Welly Setiadi dengan aset eks PT Panca Wiratama Sakti (PT PWS) yang berada di bawah kurator negara/Kementerian Keuangan (PSU/Fasos-Fasum). Tumpang tindih ini menjadi celah yang dikategorikan Kejari sebagai masalah keperdataan,” kata Irwansyah.
Masalah Berlanjut ke Pembangunan Fisik
Dugaan masalah tidak berhenti pada pengadaan lahan, tetapi merembet ke proses pembangunan fisik RSUD Tigaraksa, sebagaimana temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK):
– Temuan BPK pada Pembangunan Gedung (2023): Laporan BPK Nomor 34.A/LHP/XVIII.SRG/05/2024 (Mei 2024) menemukan adanya pekerjaan yang belum sesuai spesifikasi kontrak (belum melakukan prestasi) sebesar Rp2.015.905.721,21.
Laporan oleh AMPN: Temuan BPK ini memicu laporan dugaan KKN terhadap Kepala Dinas Kesehatan oleh Aliansi Mahasiswa Primordial Nusantara (AMPN), yang hingga kini belum jelas tindak lanjutnya.
Secara kritis, rentetan peristiwa ini menggambarkan sebuah pola masalah akut mulai dari hulu (pengadaan lahan yang berujung SP3 dan pengembalian uang) hingga ke hilir (pembangunan fisik yang bermasalah dan dilaporkan BPK), yang mengindikasikan adanya kelemahan pengawasan internal dan permasalahan integritas dalam tata kelola pemerintahan di Kabupaten Tangerang.
Pengembalian uang senilai Rp32,8 miliar tanpa penetapan tersangka, disusul SP3, menciptakan preseden buruk bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi dapat “ditebus” tanpa konsekuensi pidana, bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Apakah Anda ingin mencari tahu perkembangan terbaru atau tanggapan resmi dari pihak Kejari atau Pemkab Tangerang setelah pengembalian uang dan SP3 tersebut? (Red)
Eksplorasi konten lain dari
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
