Jayapura, DN-II Kasus dugaan mega-korupsi Dana Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua tahun 2021 yang menaksir kerugian negara mencapai lebih dari Rp200 Miliar telah memasuki babak kritis, yang secara ambisius disebut Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua sebagai “Part II” (Babak Kedua) penyidikan. (24/10/2025).
Kerugian negara sebesar ini mengindikasikan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), khususnya Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Namun, di tengah klaim ketegasan Kejati untuk “Tajam ke atas,” lambatnya penetapan status tersangka terhadap figur sentral memicu gelombang desakan keras:
Publik menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung segera mengawal dan menjamin jerat hukum mencapai aktor intelektual tertinggi.
Fase penuntasan ini berfokus pada jaringan elit setelah menjerat empat terdakwa di babak pertama. Dua sosok kunci yang telah diperiksa sebagai saksi dan kini berada di pusaran perhatian adalah:
Yunus Wonda, selaku Pengguna Anggaran (PA) kunci dan mantan Ketua Harian PB PON.
Kenius Kogoya, selaku Ketua KONI Papua.
Keterlibatan mereka sebagai Pengguna Anggaran atau pihak yang memiliki otoritas penuh terhadap penggunaan dana (sesuai Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penyertaan) membuat mereka menjadi sasaran utama untuk diperiksa secara mendalam terkait peran mereka sebagai Aktor Intelektual dalam persekongkolan korupsi ini.
Asisten Pidana Khusus Kejati Papua, Nixon Mahuse, telah berulang kali menegaskan komitmen penegakan hukum tanpa pandang bulu: “Kami tidak tebang pilih. Tajam ke atas, humanis ke bawah. Siapapun terlibat, pasti kami proses.” Upaya penyelamatan kerugian negara juga menunjukkan hasil signifikan, dengan total pengembalian uang hasil korupsi yang telah disita mencapai miliaran rupiah.
Pengembalian ini sangat relevan dengan Pasal 4 UU Tipikor yang menekankan pengembalian kerugian keuangan negara tanpa menghilangkan tuntutan pidana terhadap pelaku.
DESAKAN PUBLIK: MENGUJI INTEGRITAS LEMBAGA ANTIKORUPSI
Meskipun mengapresiasi kinerja awal Kejati Papua, pegiat antikorupsi di Jakarta dan Papua menolak keras jika kasus bernilai fantastis ini kembali “putus di tengah jalan” atau hanya berhenti di level pelaksana teknis. Desakan diarahkan secara spesifik dan mendesak kepada dua institusi pengawas tertinggi:
1. KPK Diminta Intervensi Langsung (Bukan Sekadar Memantau):
Kasus dengan kerugian negara yang massif (di atas Rp 1 Miliar dan menarik perhatian publik) ini dinilai memenuhi kriteria untuk diambil alih/disupervisi oleh KPK. Sesuai Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2002 jo UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK berwenang mengambil alih, melakukan supervisi, atau monitoring terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian. Intervensi ini krusial untuk:
Memastikan penyidikan bebas dari intervensi politik dan tekanan lokal yang kuat, sesuai prinsip independensi KPK.
Mendalami jaringan aliran dana “bancakan” PON XX yang diduga melibatkan elit kekuasaan di Papua, yang juga bisa dikaitkan dengan potensi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Negara tidak boleh rugi ratusan miliar karena keragu-raguan dalam menjerat otak di balik skandal ini.
2. Jamwas Kejagung Wajib Kawal Ketat:
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung diminta turun langsung dan melakukan pengawasan melekat (Wasslekat) terhadap proses penyidikan di Kejati Papua. Pengawalan ketat ini adalah kunci untuk mencegah ‘benang kusut’ penjarahan anggaran ini terdistorsi dan menjamin prinsip “Tajam ke atas” benar-benar terimplementasi tanpa pandang bulu terhadap posisi dan jabatan para terduga pelaku. Hal ini sejalan dengan mekanisme pengawasan internal kejaksaan dalam menjamin profesionalitas dan integritas Jaksa sesuai Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
KETEGASAN YANG TERTUNDA: TUNTUTAN STATUS TERSANGKA TOKOH KUNCI
Publik menuntut Kejati Papua segera mengakhiri keraguan dan lambatnya penetapan tersangka terhadap tokoh-tokoh kunci yang memiliki kendali penuh atas anggaran dan organisasi, seperti Yunus Wonda dan Kenius Kogoya. Apabila telah ditemukan minimal dua alat bukti yang sah (sesuai Pasal 184 KUHAP) dari hasil pemeriksaan saksi dan fakta persidangan sebelumnya, status tersangka harus segera ditetapkan, tanpa perlu menunggu waktu lama.
Aktor Intelektual harus menjadi target akhir penuntasan, bukan sekadar simbol. Kegagalan menjerat pelaku tertinggi akan menjadi tamparan keras bagi komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, sekaligus mengkhianati kepercayaan rakyat Papua yang kehilangan dana pembangunan dan pembinaan olahraga akibat praktik korupsi berjamaah ini. Penuntasan tuntas kasus PON XX adalah ujian integritas terakhir bagi institusi penegak hukum di mata rakyat.
Publisher – Redaksi
Eksplorasi konten lain dari
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
