Brebes, DN-II – Pengadaan barang dan jasa pemerintah, khususnya di sektor konstruksi, sering menjadi perhatian publik. Metode Swakelola yang seyogyanya menjadi pengecualian, belakangan disorot karena diduga diterapkan pada proyek-proyek yang seharusnya dilelang. Untuk mengupas tuntas isu ini, kami menemui Hamzah, seorang pengamat konstruksi, yang memberikan pandangan kritisnya berdasarkan regulasi pengadaan yang berlaku. (15/11/2025).
Landasan Hukum dan Batasan Jelas Swakelola
Hamzah memulai analisisnya dengan merujuk pada Peraturan LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Tujuan dan Kriteria Swakelola. Ia menekankan bahwa prinsip pengadaan adalah keterbukaan melalui tender, sementara Swakelola memiliki batasan yang ketat.
Tujuan Swakelola (Pasal 3):
Memenuhi kebutuhan barang/jasa yang tidak disediakan atau tidak diminati oleh Pelaku Usaha.
Mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD).
Kriteria Utama (Pasal 4):
Barang/jasa yang, dilihat dari segi nilai, lokasi, dan/atau sifatnya, tidak diminati oleh pelaku usaha.
Contoh Pekerjaan yang Sesuai Swakelola:
Menurut regulasi, contohnya mencakup pemeliharaan rutin skala kecil dan sederhana, penanaman gebalan rumput, pemeliharaan rambu suar, pengadaan di lokasi terpencil, atau jasa penyelenggaraan penelitian dan penyuluhan.
Kritik Keras: Kontroversi Swakelola Proyek Konstruksi Sekolah
Poin krusial Hamzah muncul ketika membandingkan regulasi ini dengan praktik di lapangan, khususnya kasus konstruksi sekolah di suatu kabupaten.”Kira-kira, untuk konstruksi sekolah, itu diminati oleh pelaku usaha enggak? Kan mesti diminati,” tegas Hamzah.
Ia memaparkan bahwa pembangunan gedung sekolah adalah jenis pekerjaan yang sangat diminati oleh pelaku usaha. Hal ini terlihat dari praktik di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) maupun daerah lain, di mana proyek pembangunan sekolah selalu dilelang atau dipaketkan.
Menurutnya, pengadaan konstruksi sekolah secara Swakelola jelas bertentangan dengan tujuan dan kriteria Perka LKPP 3/2021, yaitu untuk barang/jasa yang “tidak disediakan” atau “tidak diminati.”
Hilangnya Pemberdayaan: “Banyak sekali pelaku usaha yang mempunyai subbidang gedung pendidikan. Kenapa mereka tidak diberdayakan? Buat apa seseorang, atau badan usaha, membuat subbidang gedung pendidikan, tapi tidak diberdayakan oleh pemerintah sendiri?” ujarnya mempertanyakan.
Efisiensi yang Salah Kaprah dan Volume Terpasang
Terkait alasan efisiensi yang kerap digunakan untuk membenarkan Swakelola, Hamzah memberikan pandangan kritis:
Metode Pengadaan Wujud Efisiensi
Tender/Lelang Efisiensi (penurunan harga) akan kembali ke kas negara.
Swakelola Efisiensi harus diwujudkan dalam penambahan volume terpasang atau produk.
“Melaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Artinya kalau dilelang hanya 5 kelas, tapi kalau diswakelolakan bisa 7 kelas. Artinya efisiensi itu bisa dimanfaatkan ke sekolah lagi,” jelasnya. 
Ia menegaskan, jika proyek Swakelola hanya dilaksanakan sesuai gambar dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) awal, maka tidak ada bedanya dengan dilelang, dan potensi efisiensi untuk penambahan volume menjadi hilang. Efisiensi sejati terjadi jika kelebihan dana dimanfaatkan untuk menambah output, misalnya dari 5 kelas menjadi 7 kelas.
Dampak Buruk pada Dunia Usaha Konstruksi
Kebijakan Swakelola yang tidak tepat sasaran ini juga disorot karena dampaknya pada ekosistem usaha jasa konstruksi, termasuk konsultan dan kontraktor. ”Sistem yang dipilih oleh pemerintah itu seperti itu. Artinya tidak membuka peluang bagi badan usaha untuk meraih kesempatan atau bertarung dalam kompetisi…”
Hamzah mencontohkan bagaimana minimnya proyek yang dilelang membuat konsultan terpaksa kehilangan sebagian besar karyawannya. Ketika pekerjaan yang seharusnya masuk kategori tender/seleksi diswakelolakan, kesempatan bagi badan usaha untuk bertarung secara teknis dan profesional otomatis terenggut.
Sorotan Keterlibatan Ormas/Pokmas
Mengenai isu keterlibatan Organisasi Masyarakat (Ormas) atau kelompok masyarakat (Pokmas) dalam proyek konstruksi, Hamzah mengakui bahwa Swakelola memang mencakup pemberdayaan kelompok masyarakat. Namun, ia mengingatkan tentang peruntukannya. ”Peruntukannya ini kan beda… Jangan ini ngomong masalah penyuluhan, pemberdayaan masyarakat dimasukkan ke konstruksi gedung.”
Ia mempertanyakan kualifikasi Ormas untuk melaksanakan konstruksi gedung yang kompleks. Inti masalahnya, menurut Hamzah, bukan siapa yang mengerjakan, tetapi apakah proyek konstruksi sekolah sejak awal memenuhi Tujuan dan Kriteria Swakelola Perka LKPP 3/2021.
”Mau digarap pemborong, mau digarap ormas, itu harusnya emang harus dikompetisikan sebetulnya,” tutupnya.
Penutup dan Harapan: Hamzah menegaskan bahwa analisis yang ia sampaikan murni berdasarkan Perka LKPP Nomor 3 Tahun 2021. Ia menyampaikan bahwa jalur hukum, seperti Class Action atau PTUN, terbuka bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atau keberatan. ”Mudah-mudahan kita mengerti, pemerintah juga mengerti apa kata Pak Hamzah. Ke depannya [kabupaten/kota terkait, e.g., Berbes] lebih bagus lagi.”
Red/Teguh
Eksplorasi konten lain dari
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
